Sembilanpuluh Sembilan
Malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku
masih setia di kamar berwarna biru laut berhiaskan motif bunga pada dindingnya. Kurasa inilah satu-satunya tempat ternyaman dari semua ruangan yang
pernah ku tempati. Sembari duduk di dekat jendela, aku memainkan musik klasik
dengan piano yang juga menjadi penghuni setia kamarku. Dan disaat air mataku
tak terbendung lagi, aku menghentikan permainan pianoku lalu menarik sebuah
kursi tepat berhadapan dengan jendela kamarku.
Malam
ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku masih sangat merindukan pria
yang kucintai, sangat merindukan kehadirannya. Bahkan rasa rindu ini tak pernah
sedikitpun berkurang padanya walaupun waktu terus berputar. Tak tau apa yang
harus aku lakukan agar bisa bertemu dengannya.
Saat ini
aku duduk menatap jauh keluar jendela, menghirup aroma angin yang membawa
semerbak wangi kembang sedap malam. Dan hal ini selalu kulakukan. Membiarkan
pikiran melayang mengingat semua kenangan manis yang pernah ku lalui
bersamanya. Dan sekali lagi, aku menjatuhkan butiran bening dari pelupuk
mataku.
Masih
tetap terduduk di kursi tadi, lalu aku beranjak mencari secarik kertas dan
sebuah pulpen kemudian kembali lagi ke kursiku. Ku biarkan pulpen itu menari
sesuai gerakan tanganku, mengikuti kata hatiku hingga menjadi sepucuk surat
yang tak akan pernah dikirim.
Kamarku
tercinta, 27 Juni 2000
Teruntuk
Bintang,
Ini
adalah surat yang ke sembilanpuluh sembilan dariku untukmu. Tahukah kau? Tak
pernah ada sedikit pun rasa bosan yang dapat menghentikanku menulis surat ini.
Rasa rinduku semakin menjadi, saat ku menatap langit malam melihat ribuan benda
langit yang bagaikan sebuah titik yang berkelap kelip. Ya, tentu saja. Nama
benda langit itu sama seperti namamu, Bintang.
Aku
menghentikan sejenak tulisan itu, saat aku mulai menyadari bahwa air mataku
kembali menetes hingga tidak hanya membasahi pipiku tapi juga membasahi secarik
kertas itu. Dan ini ke sembilanpuluh sembilan kalinya aku menulis di secarik
kertas dan membasahinya dengan air mata. Setelah ku rasa air mataku mengering
aku melanjutkan kegiatan menulisku.
Bintang,
bagaimana kabarmu? Tidak kah kau merindukanku? Tidak inginkah kau mendekap tubuhku?
Aku rindu disaat kita pergi ke taman bersama, kau mengambil beberapa daisy dan
meyelipkannya di daun telingaku lalu kita memetik ilalang kemudian meniupnya
bersama-sama membiarkan mereka terbang bersama angin. Masih ingatkah kau dengan
itu?
Aku
rindu disaat engkau mengajakku berbalap sepeda, itu mebuatku terjatuh dan
lututku berdarah. Kau seketika panik, dan langsung menggendongku sampai rumah.
Membersihkan lukaku dengan perlahan, lalu kau meminta maaf padaku dengan raut
wajah yang sangat menyesal. Aku terkekeh melihatmu seperti itu, itu hal
terkonyol buatku. Itu bukan salahmu Bintang.
Wajahku
menyunggingkan sebuah senyuman saat mengingat kembali kenangan-kenangan lucu
itu, tapi aku yakin senyum yang ku buat saat ini tak akan semanis senyumanku saat
melewati kenangan itu bersamamu.
“Vio??”,
suara itu menghentikan lamunanku. Itu suara kakakku, April. Aku rasa dia adalah
kakak terbaik yang aku miliki. Dan ini adalah malam ke sembilanpuluh sembilan
dia berada di kamarku, menemaniku bersama sepi yang selalu menjalar di kala
sang surya telah kembali ke peraduannya.
“Ada
apa, Kak?”, tanyaku lemah.
“Sudah
jam 8, dan kita belum makan malam. Perutku sudah tidak bisa diajak berkompromi”,
katanya dengan agak ragu-ragu, mungkin ia takut mengangguku.
“Baiklah,
aku mengerti itu. Lagi pula perutku juga merasakan hal yang sama”, aku lalu
berdiri dan menggandeng tangan Kak April menuju ruang makan.
Aku tak
tau, apakah ada rasa bosan menghampiri diri
Kak April. Setiap aku bertanya apakah kau tidak bosan menemaniku di
kamar setiap malam, dia hanya menjawab “Tak pernah sedikit pun, apalagi untuk
adikku tercinta”. Aku sangat menyayangi Kak April, apalagi saat kedua orang
tuaku pindah ke Kanada dua tahun lalu untuk bekerja, hanya Kak April yang
selalu berada di dekatku. Umur kita yang hanya berjarak dua tahun, membuatku
dan Kak April seperti sepasang sahabat. Dan aku selalu berangkat kuliah bersamanya.
“Wah,
masakanmu enak sekali Kak? Darimana kau mendapatkan resep makanan ini?, aku
memberikan pujian pada Kak April, setelah merasakan suapan pertama dari masakannya.
“Ah, kau
ini bisa aja. Aku tidak mendapatkannya dimana-mana. Aku meraciknya sendiri. Jangan
lupa habiskan makananmu”.
“Baiklah
kak”. Aku merasa telah menjadi adik yang paling beruntung di dunia ini, bisa memiliki
kakak yang sangat baik dan penyayang seperti Kak April. Sehabis makan malam aku
lalu kembali ke kamarku. Oh ya, aku teringat surat yang tadi ku tulis belum
sepenuhnya selesai. Aku belum menaruh penutup pada surat itu.
Bintang,
aku tau secarik kertas tak akan pernah cukup untuk menulis semua kenangan kita.
Bahkan mungkin di malam ke sembilanpuluh aku menulis surat ini, sudah ada
ratusan kenangan yang telah aku tulis di surat-surat sebelumnya yang tidak
pernah aku kirim.
Aku
harap kau baik-baik di sana, dan Tuhan senantiasa melindungimu.
Salam
rinduku, Viona.
Kemudian
aku melipat sehelai kertas yang telah menjadi sebuah surat itu. Lalu aku
menyimpannya pada sebuah kotak, tepat pada urutan surat yang ke sembilanpuluh
sembilan. Badanku sudah sangat lelah. Aku beranjak menuju ranjangku, dan ternyata
Kak April sudah terbaring di sana sambil memandangiku.
“Sudah
puas menulis suratnya?”, kata Kak April dengan lembut.
“Belum
Kak. Aku masih akan menulisnya di malam berikutnya”
“Mungkin
kau bisa menceritakannya padaku jika kau mau”.
Aku
langsung berbaring disamping Kak April. Menceritakan semua kerinduanku pada
Bintang. Aku yakin, banyak bagian yang telah aku ceritakan pada Kak April secara
berulang kali. Tapi tak pernah sedikit pun aku melihat raut wajah bosan yang ia
munculkan. Dia sangat memahamiku. Aku selalu mengingat sebuah kalimat dari Kak
April, “Berdo’alah yang terbaik untuk Bintang, dan dia akan baik-baik saja”.
Perkataan Kak April itu selalu menguatkanku.
Dan ketika rasa kantukku sudah tak bisa tertahan, terlebih dahulu aku berdo’a
pada Tuhan untuk orang tuaku, kakakku, dan juga untuk Bintang. Hingga malam
semakin larut aku memejamkan mataku, dan kembali menyadari di malam ini adalah
malam ke sembilanpuluh sembilan dia meninggalkanku, meninggalkan semua orang
yang mencintainya, dan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Dia kekasihku,
Bintang. Walaupun ia sudah tiada,
kehadirannya tetap bisa kurasakan seperti kehadiran bintang-bintang malam yang
selalu bersinar menemani sang bulan.
Play at Hard Rock Casino and Resort
BalasHapusFind 강릉 출장안마 the best Hard 안산 출장안마 Rock Casino and 서울특별 출장마사지 Resort in Hard 광양 출장샵 Rock Lake Tahoe, including fully refundable rates with free cancellation. 제천 출장안마 Rating: 2.2 · 6 reviews