Jumat, 27 Desember 2013

Kutipan Hari Ini - 27/12/2013



"Menjadi seorang juara bisa menunjukkan kualitas, tapi tidak semua yang berkualitas harus ditunjukkan dengan juara. Kualitas dapat ditunjukkan dengan seberapa manfaatkah kemampuan ini untuk membantu dan membahagiakan sesama"- Sitti Nurhazanah Syam

Cerpen - [bukan] Bad Boy



[BUKAN] Bad Boy
(Don’t Judge A Book By It’s Cover)

            Genangan air sisa hujan semalam masih ada di pinggiran jalan dekat halte. Aroma hujan dan embun pun masih terasa di pagi yang kelihatan mendung saat ini. Seorang gadis berseragam putih abu-abu kini tengah berdiri di pinggiran jalan itu  menatap jauh ke depan sambil sesekali menghindar dari cipratan air saat kendaraan melintas. Ia menanti kendaraan yang selalu setia menemaninya ke sekolah, sambil memasang senyum tipisnya sekedar untuk menghilangkan rasa jenuh menunggu angkutan kota. Terpaksa dia harus berdiri, karena halte sudah penuh sesak dengan para pekerja kantoran dan beberapa ibu yang menunggu angkutan yang sama dengannya.
            Setelah duapuluh menit akhirnya yang dinanti pun datang. Zheina lalu melangkah ringan menuju kendaraan yang akan mengantarkannya ke sekolah. Sedetik sebelum ia menaikkan satu kakinya ke angkot terdengar suara teriakan.
            “Zhei, bareng gue aja yuk”, sahut seorang cowok yang menaiki sebuah motor sport. Wajahnya tak terlihat, tertutup oleh kaca helm bermotif Barcelona yang dia gunakan.
            Zheina terperangah sejenak sambil menyipitkan mata. Ia tak begitu kenal dengan cowok itu, tapi sepertinya mereka pernah bertemu.
            “Hei dik, meyingkirlah dari pintu kalau kau tidak jadi naik”, tegur seorang ibu yang menenteng tas belanjaan.
            “Oh, maaf bu. Saya jadi naik kok”, Zheina mengabaikan ajakan cowok itu tanpa kepastian ya atau tidak.
            Di angkot, gadis sederhana berwajah oriental itu mengeluarkan sebuah catatan kecil dari tas sampingnya yang berwarna ungu. Ia membaca beberapa poin yang akan menjadi bahan pelajaran hari ini. Di tengah-tengah kegiatannya itu, Zheina teringat dengan cowok yang tadi mengajaknya untuk berangkat bersama.
            Setelah sesaat membiarkan otaknya berpikir ke kejadian beberapa hari yang lalu, gadis itu sadar ternyata cowok yang tadi adalah Denias. Cowok peranakan Belanda itu adalah kakak kelas Zheina. Denias memang baru sebulan yang lalu bersekolah SMA Pelita Jaya, itu sebabnya Zheina tidak terlalu mengenalnya. Mereka bertemu dua hari lalu, saat Denias meminta bantuan pada Zheina untuk mengajarinya pelajaran matematika karena sebentar lagi Denias akan menghadapi ujian akhir.
*****
            “Pak, angkotnya kenapa ? Kenapa jalannya jadi tersendat-sendat?”, pekik seorang pegawai kantoran yang merasakan keanehan pada angkot yang ditumpanginya.
            Pekikan pagawai tadi menghentikan lamunan Zheina, dan beberapa detik kemudian angkot yang ditumpanginya benar-benar berhenti.
            “Aduh maaf, angkotnya mogok.  Silahkan keluar dulu, saya akan memperbaikinya sebentar”, sahut supir angkot tersebut.
            Zheina kemudian turun dan melirik jam tangannya, 20 menit lagi pintu gerbang sekolahnya akan ditutup. Gadis itu berharap angkot yang ia naiki dapat segera diperbaiki, karena saat hari kerja seperti saat ini sulit mendapatkan angkot yang tidak penuh dengan penumpang.
            Setelah 5 menit menunggu, Zheina menjadi gelisah.
            “Masih lama ya pak?”, tanya Zheina.
            “Ga tau ini dek, dari tadi mesinnya gak bisa nyala”, jawab sang supir.
            “Ya udah deh, pak. Ini ongkosnya, saya jalan aja”, Zheina lalu menyodorkan uangnya pada supir itu.
            Dengan  mengambil langkah seribu Zheina bergegas ke sekolah yang jaraknya masih sekitar dua kilometer, sambil sesekali berlari. Entahlah, apa waktu 15 menit cukup menempuh perjalanannya itu. Cuaca hari ini yang mendung lumayan mendukung, jadi Zheina tidak harus mandi keringat untuk sampai disekolahnya.
            Tapi mendung tidak selamanya mendukung. Perlahan gerimis mulai turun. Gadis berumur 17 tahun itu terpaksa harus berlari. Dia belum berpikir untuk mencari tempat berteduh selama itu hanya gerimis. Setengah perjalanan terlewati, dan gerimis telah membuat seragamnya lembap.
            “Yah, sisa 3 menit. Pasrah ni bakalan dihukum nanti”, desah Zheina.
            “Hey, kenapa lo ada disitu. Mana angkot yang tadi lo naikin?”
            “Loh, kakak ?? Tadi angkotnya mogok daripada nunggu ya saya jalan”
            “Oh gitu, udah buruan lo naik ntar kita telat”
            Tanpa pikir panjang lagi Zheina langsung naik dan sebuah motor sport langsung melaju kencang. Hanya butuh beberapa detik untuk sampai di depan gerbang sekolah.
            “Makasih kak buat tumpangannya, padahal tadi udah kepikiran bakalan dihukum”, ucap Zheina setelah turun dari motor.
            “Iya sama-sama. Hmm, kenapa lo tadi gak mau bareng gue pas di halte?”, jawab Denias sembari membuka helm yang melindungi kepalanya.
            “Tadi kirain siapa. Mana ada ibu-ibu yang negur lagi, makanya saya buru-buru naik. Oh iya, Kakak koq baru nyampe sih? Padahal kan kakak naik motor, maunya sampenya udah dari tadi”
            “Gue tuh dikirim Tuhan, buat bantu seorang gadis yang hampir aja telat”
            “Kakak bisa aja. Ya udah kak, saya duluan ke kelas”
            “Bye”.
*****
            Jam pertama di kelas Zheina hari ini adalah sejarah, tapi gurunya tidak bisa masuk sehingga para siswa hanya diperintahkan membaca materi yang sebenarnya akan dibahas bersama hari ini.
            “Eh Rin, hampir aja tadi aku telat. Untung ada Kak Denias yang ngasih boncengan”, curhat Zheina pada sahabatnya.
            “Apa? Kak Denias? Kamu serius?”, kata Rina dengan wajah tercengang.
            “Mukanya biasa aja dong. Iya serius lah, memang kenapa?”
            “Kamu belum tau gosipnya? Kak Denias itu dipindahin kesini karena di sekolah lamanya dia di cap sebagai murid yang paling nakal”
            “Masa sih? Tapi, dua hari yang lalu dia minta ke aku buat diajarin matematika. Katanya sih, buat persiapan UN. Yah mungkin aja dia udah berubah”
            “Aduh Zheina, aku saranin ya jauhin tu Kak Denias. Aku takut kamu di apa-apain lagi sama dia. Liat aja penampilannya bajunya gak pernah rapi kan?”
            “Iya juga sih, tapi..”
            “Tapi apa? Kamu gak dengar yang dibicarain Sindi sama teman-teman disitu”, potong Rina sambil menunjuk teman-temannya yang bekumpul disudut kelas membahas kenakalan Denias. “Tuh kan, Kak Denias itu playboy suka berantem lagi. Pokoknya kamu harus jauhin dia”, jelas Rina
            “Udah ah gak usah negative thinking dulu, kita kan belum liat buktinya. Daripada ngebahas tentang kenakalan kak Denias, mendingan temenin aku ke toilet. Perutku mules nih kayaknya masuk angin, gara-gara tadi bajuku lembap kena hujan”, ajak Zheina sambil menarik tangan sahabatnya keluar kelas.
*****
            “Kamu punya pacar lain kan? Udah deh, ngaku aja”, tuding seorang cowok yang saat ini berdiri di depan gudang sekolah bersama kekasihnya.
            “Gak. Kok kamu bisa berpikiran gitu sih”, elak si cewek.
            “Ini buktinya. Foto ini. Lo mesra banget sama tu cowok”, geram si cowok sambil menunjukkan sebuah foto.
            “Itu cuman teman aku”
            “Ah, bohong!!”, dan sebuah tamparan kini menyambar pipi cewek itu.
            Denias yang saat itu baru akan menuju kelasnya, melihat pertengkaran sepasang kekasih itu. Ia tidak tinggal diam melihatnya.
            “Eh, bro sama cewek jangan kasar ya”, teriak Denias.
            “Gak usak ikut campur deh lo”, balas cowok itu dengan tatapan menantang. “Mau jadi jagoan lo, sini lawan gue”
            Denias sebenarnya tidak berniat untuk menambah masalah perkelahian lagi. Tapi sebuah kepalan tangan langsung melayang ke arah mukanya. Mau tidak mau Denias harus mengelak dari pukulan cowok itu dan akhirnya perkelahian terjadi. Keributan itu mengundang perhatian siswa yang kelasnya tidak jauh dari gudang, tidak terkecuali Zheina dan Rina yang hendak ke toilet.
            “Zhei, liat deh ada apa tuh ngumpul-ngumpul”, tanya Rina sambil menunjuk kerumunan siswa.
            Kepo banget deh. Buruan yuk ke toilet”, rengek Zheina
            “Cuma sebentar, Zhei”, Rina melangkah ke kerumunan sambil menggandeng tangan Zheina.
            “Tuh kan, benar kataku. Kak Denias itu bad boy, baru aja satu bulan disini udah bikin gara-gara”, kata Rina bangga karena perkiraannya di kelas tadi telah terbukti.
            Melihat perkelahian itu, ada rasa kecewa di hati Zheina. Tapi, gadis yang gemar  pelajaran matematika itu mencoba untuk berpikiran positif.
            “Mungkin aja tadi mereka  salah paham, Rin. Gak usah di urusin
            Gak Zhei. Pokoknya mulai saat ini jauhin Kak Denias” pinta Rinta.
            “Menjauh? Masa aku mau menjauh saat orang butuh bantuan. Aku gak bisa kalau untuk masalah itu”
            “Aku gak mau ngeliat kamu di apa-apain sama Kak Denias, itu aja Zhei. Kalau kamu masih anggap aku sahabat kamu, jauhin Kak Denias”, Rina kemudian berlalu meninggalkan Zheina.
            “Rina!! Kamu belum temenin aku ke toilet”, jerit Zheina. Tapi, Rina sama sekali tak menghiraukan.
*****
            Karena kejadian di dekat gudang tadi pagi, sampai jam pelajaran di sekolah selesai Rina tidak pernah berbicara dengan Zheina dan itu membuat Zheina tidak enak hati. Padahal sebelumnya mereka sudah berencana ke perpustakaan kota sepulang sekolah.
            “Rina tunggu!”
            “Ada apa?”, Rina berkata dengan nada ketus.
            “Kamu marah sama aku?”
            “Menurut kamu?”
            “Oke, aku minta maaf untuk kejadian tadi pagi. Dan aku janji bakalan jauhin Kak Denias. Kamu mau kan maafin aku?”, pinta Zheina memelas.
            “Iya”, jawab Rina sambil tersenyum.
            “Kita jadikan ke perpustakaan?”
            “Iya dong, kan novel yang aku baca kemarin belum selesai”
*****
            “Hai Zhei, lo lagi baca apa?”, sapa Denias yang kebetulan melihat Zheina dan Rina di perpustakaan.
            “Eh, Kak Denias, ng—“, suara Zheina seketika tertahan saat Rina mencubit pahanya.
            “Oh ya, kan besok hari Minggu. Boleh gak gue ke rumah lo buat belajar?”, tanya Denias.
            “Mmm, maaf Kak. Aku gak bisa, lagi banyak tugas besok”, Zheina terpaksa menolak permintaan Denias, padahal sebenarnya gadis itu tak punya banyak tugas.
            “Wah, gak bisa ya. Padahal lagi semangat-semangatnya pengen belajar. Ya udah deh, gue pulang duluan. Bye”, Denias menuju pintu keluar sambil melambaikan tangan pada Zheina.
            Setelah limabelas menit berada di perpustakaan, dua sahabat itu pun bergegas untuk pulang ke rumah. Mereka bersama menunggu di sebuah halte dekat lampu merah yang tidak jauh dari perpustakaan.
            Sembari menunggu angkutan yang akan mereka tumpangi, Zheina dan Rina saling becerita tentang novel yang tadi mereka baca. Ditengah pembicaraan mereka, Rina melihat diseberang jalan Denias sedang berkumpul dengan beberapa anak jalanan dia membagikan makanan dan bermain gitar menghibur para anak jalanan. Denias terlihat sangat senang bermain dengan anak-anak jalanan itu.
            “Zhei, aku gak salah liat kan?”, tanya Rina masih heran melihat kejadian di depan matanya itu.
            “Liat apa sih?”
            “Tuh, liat. Itu Kak Denias kan?”, ucap Rina sambil menunjuk ke seberang jalan.
            “Iya, itu Kak Denias. Akrab banget yah sama anak-anak jalanan itu”.
            “Ternyata bad boy seperti Kak Denias bisa peka juga sama anak jalanan”
            “Heh, dia bukan bad boy
            “Eh – eh, liat. Ngapain tuh, dia bawa banyak bungkusan”
            “Mana?”
            “Ohh, dia lagi bagi makanan buat mereka. Baik banget tu orang, eh tapi kan dia bad boy
            “Aduh Rina, orang itu bisa berubah kapan aja, begitu juga Kak Denias. Kalau berdasarkan gosip dulu dia anak nakal, siapa tau aja dia udah insaf. Gak usah asal jugde orang lagi deh”
            “Iya deh gak lagi. Pulang yuk, angkotnya udah datang”.
            Sepasang sahabat itu pun lalu menaiki angkutan yang telah berhenti di depan halte. Dan Zheina kembali menatap lekat ke seberang jalan melalui jendela, mengembangkan sebuah senyum sambil berkata dalam hati
            “Dia memang bukan bad boy”.

Cerpen Romance & Sedih - Sembilanpuluh Sembilan



Sembilanpuluh Sembilan


            Malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku masih setia di kamar berwarna biru laut berhiaskan motif bunga pada dindingnya. Kurasa inilah satu-satunya tempat ternyaman dari semua ruangan yang pernah ku tempati. Sembari duduk di dekat jendela, aku memainkan musik klasik dengan piano yang juga menjadi penghuni setia kamarku. Dan disaat air mataku tak terbendung lagi, aku menghentikan permainan pianoku lalu menarik sebuah kursi tepat berhadapan dengan jendela kamarku.
            Malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku masih sangat merindukan pria yang kucintai, sangat merindukan kehadirannya. Bahkan rasa rindu ini tak pernah sedikitpun berkurang padanya walaupun waktu terus berputar. Tak tau apa yang harus aku lakukan agar bisa bertemu dengannya.
            Saat ini aku duduk menatap jauh keluar jendela, menghirup aroma angin yang membawa semerbak wangi kembang sedap malam. Dan hal ini selalu kulakukan. Membiarkan pikiran melayang mengingat semua kenangan manis yang pernah ku lalui bersamanya. Dan sekali lagi, aku menjatuhkan butiran bening dari pelupuk mataku.
            Masih tetap terduduk di kursi tadi, lalu aku beranjak mencari secarik kertas dan sebuah pulpen kemudian kembali lagi ke kursiku. Ku biarkan pulpen itu menari sesuai gerakan tanganku, mengikuti kata hatiku hingga menjadi sepucuk surat yang tak akan pernah dikirim.
           
Kamarku tercinta, 27 Juni 2000
Teruntuk Bintang,
Ini adalah surat yang ke sembilanpuluh sembilan dariku untukmu. Tahukah kau? Tak pernah ada sedikit pun rasa bosan yang dapat menghentikanku menulis surat ini. Rasa rinduku semakin menjadi, saat ku menatap langit malam melihat ribuan benda langit yang bagaikan sebuah titik yang berkelap kelip. Ya, tentu saja. Nama benda langit itu sama seperti namamu, Bintang.

            Aku menghentikan sejenak tulisan itu, saat aku mulai menyadari bahwa air mataku kembali menetes hingga tidak hanya membasahi pipiku tapi juga membasahi secarik kertas itu. Dan ini ke sembilanpuluh sembilan kalinya aku menulis di secarik kertas dan membasahinya dengan air mata. Setelah ku rasa air mataku mengering aku melanjutkan kegiatan menulisku.

Bintang, bagaimana kabarmu? Tidak kah kau merindukanku? Tidak inginkah kau mendekap tubuhku? Aku rindu disaat kita pergi ke taman bersama, kau mengambil beberapa daisy dan meyelipkannya di daun telingaku lalu kita memetik ilalang kemudian meniupnya bersama-sama membiarkan mereka terbang bersama angin. Masih ingatkah kau dengan itu?
Aku rindu disaat engkau mengajakku berbalap sepeda, itu mebuatku terjatuh dan lututku berdarah. Kau seketika panik, dan langsung menggendongku sampai rumah. Membersihkan lukaku dengan perlahan, lalu kau meminta maaf padaku dengan raut wajah yang sangat menyesal. Aku terkekeh melihatmu seperti itu, itu hal terkonyol buatku. Itu bukan salahmu Bintang.

            Wajahku menyunggingkan sebuah senyuman saat mengingat kembali kenangan-kenangan lucu itu, tapi aku yakin senyum yang ku buat saat ini tak akan semanis senyumanku saat melewati kenangan itu bersamamu.
            “Vio??”, suara itu menghentikan lamunanku. Itu suara kakakku, April. Aku rasa dia adalah kakak terbaik yang aku miliki. Dan ini adalah malam ke sembilanpuluh sembilan dia berada di kamarku, menemaniku bersama sepi yang selalu menjalar di kala sang surya telah kembali ke peraduannya.
            “Ada apa, Kak?”, tanyaku lemah.
            “Sudah jam 8, dan kita belum makan malam. Perutku sudah tidak bisa diajak berkompromi”, katanya dengan agak ragu-ragu, mungkin ia takut mengangguku.
            “Baiklah, aku mengerti itu. Lagi pula perutku juga merasakan hal yang sama”, aku lalu berdiri dan menggandeng tangan Kak April menuju ruang makan.
            Aku tak tau, apakah ada rasa bosan menghampiri diri  Kak April. Setiap aku bertanya apakah kau tidak bosan menemaniku di kamar setiap malam, dia hanya menjawab “Tak pernah sedikit pun, apalagi untuk adikku tercinta”. Aku sangat menyayangi Kak April, apalagi saat kedua orang tuaku pindah ke Kanada dua tahun lalu untuk bekerja, hanya Kak April yang selalu berada di dekatku. Umur kita yang hanya berjarak dua tahun, membuatku dan Kak April seperti sepasang sahabat. Dan aku selalu berangkat kuliah bersamanya.
            “Wah, masakanmu enak sekali Kak? Darimana kau mendapatkan resep makanan ini?, aku memberikan pujian pada Kak April, setelah merasakan suapan pertama dari masakannya.
            “Ah, kau ini bisa aja. Aku tidak mendapatkannya dimana-mana. Aku meraciknya sendiri. Jangan lupa habiskan makananmu”.
            “Baiklah kak”. Aku merasa telah menjadi adik yang paling beruntung di dunia ini, bisa memiliki kakak yang sangat baik dan penyayang seperti Kak April. Sehabis makan malam aku lalu kembali ke kamarku. Oh ya, aku teringat surat yang tadi ku tulis belum sepenuhnya selesai. Aku belum menaruh penutup pada surat itu.

Bintang, aku tau secarik kertas tak akan pernah cukup untuk menulis semua kenangan kita. Bahkan mungkin di malam ke sembilanpuluh aku menulis surat ini, sudah ada ratusan kenangan yang telah aku tulis di surat-surat sebelumnya yang tidak pernah aku kirim.
Aku harap kau baik-baik di sana, dan Tuhan senantiasa melindungimu.
Salam rinduku, Viona.

            Kemudian aku melipat sehelai kertas yang telah menjadi sebuah surat itu. Lalu aku menyimpannya pada sebuah kotak, tepat pada urutan surat yang ke sembilanpuluh sembilan. Badanku sudah sangat lelah. Aku beranjak menuju ranjangku, dan ternyata Kak April sudah terbaring di sana sambil memandangiku.
            “Sudah puas menulis suratnya?”, kata Kak April dengan lembut.
            “Belum Kak. Aku masih akan menulisnya di malam berikutnya”
            “Mungkin kau bisa menceritakannya padaku jika kau mau”.
            Aku langsung berbaring disamping Kak April. Menceritakan semua kerinduanku pada Bintang. Aku yakin, banyak bagian yang telah aku ceritakan pada Kak April secara berulang kali. Tapi tak pernah sedikit pun aku melihat raut wajah bosan yang ia munculkan. Dia sangat memahamiku. Aku selalu mengingat sebuah kalimat dari Kak April, “Berdo’alah yang terbaik untuk Bintang, dan dia akan baik-baik saja”.
             Perkataan Kak April itu selalu menguatkanku. Dan ketika rasa kantukku sudah tak bisa tertahan, terlebih dahulu aku berdo’a pada Tuhan untuk orang tuaku, kakakku, dan juga untuk Bintang. Hingga malam semakin larut aku memejamkan mataku, dan kembali menyadari di malam ini adalah malam ke sembilanpuluh sembilan dia meninggalkanku, meninggalkan semua orang yang mencintainya, dan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Dia kekasihku, Bintang.    Walaupun ia sudah tiada, kehadirannya tetap bisa kurasakan seperti kehadiran bintang-bintang malam yang selalu bersinar menemani sang bulan.